Tuesday, February 5, 2013

Teman Seperjalanan


“The more I traveled the more I realized that fear makes strangers of people who should be friends.” – Shirley MacLaine


Perjalanan buat saya selalu memberikan kejutan. Apapun bentuknya, karena itu saya selalu antusias saat melakukan sebuah perjalanan. Kejutan-kejutan itulah yang memberi warna dan menyemarakkan perjalanan saya. Bertemu teman seperjalanan selama berpergian adalah satu dari kejutan yang paling menarik buat saya.

Senja itu, di pertengahan Desember 2010, saya memulai perjalanan pertama sendiri. Sebelumnya perjalanan-perjalanan saya selalu bersama rekan kerja sesama jurnalis, dalam rangka liputan. Saya ingin suatu saat bisa berpergian sendiri tanpa embel-embel kartu pers dan tugas meliput. Hingga kesempatan itu tiba, maka di stasiun Pasar Senen dua tahun lalu itulah saya berada, tepat ketika sinar matahari perlahan meredup.

Senja Utama Solo, kereta api kelas bisnis yang saya tunggu. Tujuan saya ke Jogjakarta. Ini adalah pertama kali saya berpergian dengan kereta api kelas bisnis, sendiri. Sama sekali tidak pernah terbayang seperti apa rasanya. Tapi satu hal pasti kereta ini tidak berpendingin ruangan laiknya kereta api kelas eksekutif yang selalu mengantar saya kala harus pergi keluar kota, bertugas meliput. Sebuah konsekuensi logis yang harus diterima dengan biaya tiket yang lebih murah.

Setelah memastikan jalur tempat menunggu datangnya kereta kepada petugas, saya beranjak menuju jalur yang tertera di tiket, jalur tiga. Senja Utama Solo direncanakan tiba satu jam sebelum keberangkatan pukul 20.00 WIB. Jadi, saya masih punya waktu sekitar satu jam hingga kereta tiba. Biasanya, kalau sedang menunggu selalu ada buku yang dibaca. Kali ini saya tidak membawanya. Maka saya manfaatkan waktu untuk sekedar memperhatikan mereka yang berlalulalang di hadapan saya.  

Orang-orang dengan beragam macam latar belakang pekerjaan. Baik yang menunggu kereta dengan tujuan masing-masing maupun mereka yang mencoba mengadu untung dengan berjualan di selasar di antara jalur kereta. Orang-orang dengan beragam usia, anak-anak, remaja, orang tua. Sendiri, berdua, dan berkelompok. Masing-masing asyik dengan kesibukannya selama menunggu kereta.

Tiba-tiba, seorang bapak menyapa dan bertanya ke mana tujuan saya. Saya menjawab singkat. Dia bertanya lagi. Pembicaraan pun jadi panjang. Yang menarik saat si Bapak bertanya tentang profesi saya. Parasnya langsung menunjukkan keterkejutannya, tidak percaya ketika saya mengatakan, “dosen”. Selama sepuluh bulan menjadi dosen, itulah ekspresi tidak percaya pertama yang saya terima dari orang yang sama sekali asing. Si Bapak mengira kalau saya mahasiswa yang baru lulus kemarin sore, minim pengalaman.

Tidak sepenuhnya salah, mungkin karena gaya berpakaian yang kasual saat itu, berkaos dan celana jeans serta sepatu sneakers, membuat dia berpikir kalau saya fresh graduate. Bahkan si Bapak berpikir saya baru dua tahun beranjak dari usia dua puluh tahun. Padahal lebih dari itu, sudah diambang tiga puluh tahun!  

Saya mahfum dengan reaksinya. Tapi juga tidak memberi penjelasan lebih lanjut, hanya tersenyum. Sikapnya tadi semakin meneguhkan keyakinan yang selama ini saya pegang untuk tidak menilai orang lain dari penampilan luar. Bahwa identitas yang melekat pada diri seseorang tidak selalu harus ditunjukkan lewat apa yang kasat mata.

Dari informasi singkat tentang profesi saya, si Bapak semakin terbuka dengan cerita pekerjaannya. Ternyata dia juga seorang dosen, mengabdi untuk sebuah universitas negeri di Jawa Tengah. Saat kami bertemu, dia baru selesai menghadiri seminar di Bogor, Jawa Barat, dan hendak kembali pulang. Pengalaman mengajarnya sungguh menarik, konversasi menjadi semakin bermakna, apalagi kami mengajar di fakultas yang sama meski berbeda Perguruan Tinggi.

Sayang waktu jualah yang harus dengan paksa menghentikannya, kereta yang ditunggu si Bapak datang lebih dulu. Dia menawari saya untuk singgah di kampusnya suatu saat nanti, bahkan mengajak untuk mengajar di sana. Bagi saya ini adalah sebuah salam perpisahan yang berkesan. Saya hanya tersenyum membalasnya sebagai ucapan selamat jalan.

Si Bapak memang tidak menjadi teman seperjalanan saya menuju Kota Pelajar, Jogjakarta, tapi bertemu dengannya membuat awal perjalanan saya penuh makna.

Lain lagi ketika saya menuju Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk bertemu dengan keluarga paman dari ibu saya. Kala itu, enam bulan setelah pertemuan singkat dengan si Bapak tadi, yang menjadi teman seperjalanan saya adalah seorang mahasiswa dari Perguruan Tinggi negeri di Bandung. Dia duduk di sebelah saya di bus yang membawa kami ke tujuan.

 “Mau kembali ke kos di Bandung ya?”, menjadi pembuka diantara kami. Saya tergugu, kali ini saya yang menunjukkan ekspresi kaget. Lagi-lagi disangka mahasiswa! Tepatnya mahasiswa yang baru saja pulang ke rumah dan siap kembali ke kampus, artinya kali ini dianggap mahasiswa yang belum lulus, beberapa tingkat di bawah fresh graduate.

Sebuah kejutan di awal perjalanan menuju Tasikmalaya. Tapi ada yang lain yang jauh lebih menarik. Setelah sedikit penjelasan kalau saya bukan mahasiswa yang kuliah di Bandung, percakapan kami beralih ke cerita-cerita seputar dirinya. Sibuk menyelesaikan skripsi di Fakultas Psikologi, tapi lebih sibuk dengan kegiatan paduan suara. Bahkan dia tengah mempersiapkan diri untuk tampil di ajang bertaraf internasional, beberapa negara di Eropa jadi tujuannya. Great!

Tentang paduan suara ini sudah ditekuninya sejak masih sekolah. Untuk urusan satu ini, dia tidak main-main, segenap perhatian diberikannya, fokus. Hasilnya memuaskan. Dia mendapat beasiswa dari sekolahnya untuk melanjutkan kuliah. Bandung menjadi tujuan, bukan sembarang pilih, tapi di universitas tempatnya kuliah itu ada kelompok paduan suara yang hebat, mengukir prestasi di mana-mana. Jadilah dia bergabung di sana.

Dia berhasil meraih mimpinya, bernyanyi di panggung internasional. Tekadnya kuat, demi membuktikan kalau pilihannya tepat. Saya takjub dengan usahanya dalam memperjuangkan impiannya. Meski baru saja kami bertemu tapi saya yakin dia tidak sedang membual. Dan itu terbukti saat kami bertemu lagi setelah perjalanan singkat di dalam bus.

Sudah tiga tahun sejak pertemuan itu dia masih menjadi pelatih kelompok paduan suara di sekolah adik saya, di mana adik saya menjadi salah satu murid paduan suaranya, tak heran karena dia memang alumni di sana. Sebuah kebetulan yang aneh. Tapi keanehan-keanehan itu biasanya menjadi awal kenangan yang tidak mudah dilupakan.

Saya tidak ingin mempertanyakannya lebih jauh.

Sampai sekarang kami masih berteman baik. Suatu ketika, saat  menjemput adik yang sedang berlatih paduan suara di rumahnya, dua lembar kartu pos dia berikan. “Oleh-oleh”, katanya sambil menyerahkan ke saya. Kartu pos bergambar lanskap kota yang identik dengan sebuah negara, saya tidak perlu susah payah menerkanya, di situ tertulis “Berlin” dan “Praha”. Hebat!

Sekali lagi dia benar-benar menunjukkan kemampuannya, bakatnya, dan tekadnya yang kuat. Bernyanyi sudah melekat dalam dirinya, menyatu dengan setiap embusan nafasnya.

Tuesday, December 18, 2012

Satu Angan, Tentangmu yang Begitu Indah


Setiap kita punya keinginan, apapun itu. Dan segala keinginan mampu kita wujudkan. Tinggal bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk meraih cita dan asa yang tersimpan dalam benak. Demikian yang selalu saya ingat saat hendak mewujudkan impian saya, satu demi satu.

Saya tidak pernah berpikir untuk mendaki gunung. Apalagi bermimpi untuk sampai di puncaknya. Hingga satu saat saya terpikat indahnya panorama Gunung Bromo yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Suatu saat saya harus berada di sana! Demikian saya bertekad pada Maret 2011, terpatri di dalam hati dan pikiran. Sayangnya, mimpi itu tidak langsung menjadi kenyataan, perlu waktu yang panjang untuk merealisasikannya. Aktivitas di kantor yang padat dan kegiatan mengajar di Kampus menjadi kendala utama saat itu. Tapi saya tidak patah arang hingga akhirnya keinginan itu terwujud dipenghujung tahun 2011.

Ada yang menarik ketika berada di Gunung Bromo. Kala itu pandang mata saya sempat tertuju pada Puncak Mahameru. Seorang warga di sana bercerita kepada saya tentang Gunung Semeru dan puncaknya yang terkenal dengan sebutan puncak para dewa. Tidak perlu waktu lama untuk saya jatuh hati pada Mahameru. Selain pesona alamnya yang memukau, kata “Mahameru” itu sendiri punya daya tarik tersendiri di telinga saat saya mendengarnya. Lalu, berulang kali kata “Mahameru” terucap di bibir yang kemudian saya simpan di dalam hati dan pikiran. Lagi, saya bertekad suatu saat bisa menjejakkan kaki di Puncak Mahameru.

Persis satu tahun saya menyimpan mimpi itu di dalam benak dan pikiran. Kini, langkah sudah dekat untuk meraihnya. Saya awam soal mendaki gunung, tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Banyak cara untuk mewujudkannya, asal mau usaha. Salah satunya usaha untuk menyiapkan alat, fisik, dan mental, hingga logistik yang benar-benar diperhitungkan kebutuhan kalorinya. Bagi saya mendaki gunung merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus. Inilah seninya. Jadi, buat saya bukan untuk menguji nyali, apalagi berniat menaklukkan Puncak Mahameru. Tidak.

Sejak lama saya mencintai alam dengan segala keindahannya. Alam selalu menjadi tujuan kala diri perlu rehat sejenak dari rutinitas hidup, sekedar menghirup udara sejuk dan menyegarkan mata dengan panorama yang, terkadang, sulit diungkap lewat kata. Berada di alam semesta sama halnya bersyukur pada Sang Pencipta yang dengan murah hati sudah memberi saya kesempatan untuk menikmati alam ciptaan-Nya. Pun saya berharap pada Yang Kuasa agar punya kesempatan untuk kembali menikmati alam ciptaan-Nya, berada di tanah tertinggi Pulau Jawa, Puncak Mahameru, tepat pada pergantian tahun nanti. Salam.

Catatan:
Tulisan ini disiapkan sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan Memorable Trekking #Semeru 2013 yang diselenggarakan oleh @BackpackerStore

Saturday, December 15, 2012

Ecoutez Moi*

"Upload fotonya, update statusnya nanti ya ade-ade. Kita mau ngomong, tolong dengar dulu.”
 Seorang pesohor, penyanyi kenamaan di Indonesia yang siang itu tengah menjadi salah satu juri pada perlombaan paduan suara, protes kepada para audien yang kebanyakan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalimat itu dilontarkan saat dia dan dua orang temannya berdiri di panggung ketika mau menyampaikan prosedur penilaian lomba. Kondisi ini saya dapati beberapa waktu lalu ketika mengantar adik yang bersama teman-teman paduan suara mengikuti acara itu di bilangan Jakarta Selatan. Memang, saat itu suasana riuh. Ramai. Peserta lomba, yang berasal dari beberapa sekolah di Jakarta, sibuk dengan Blackberry dan obrolan masing-masing. Duduk berkerumun dengan kelompoknya. Sempat saya mendengar mereka rumpi-rumpi soal penampilan lawan dari sekolah lain. Komentar ini dan itu. Kebetulan posisi duduk saya dekat dengan mereka. Jadi saya bukan curi dengar.

            Situasi ini bukan kali pertama yang saya temui. Jadi, bukan sesuatu yang asing. Kerap kali saya mendapati beberapa mahasiswa ngobrol ketika saya sedang menjelaskan materi perkuliahan di kelas. Tapi justru bungkam, meski tidak semua, saat saya melontarkan pertanyaan. Diam. Menunduk, serius membaca catatan. Ada juga yang pasang muka seolah sedang berpikir, merangkai jawab tapi tak kunjung diungkapkan. Hanya beberapa gelintir mahasiswa yang berinisiatif menjawab pertanyaan saya. Pun ini terjadi saat rekan sesama dosen tengah mengajar. Setidaknya itu yang saya amati. Rupanya ini terjadi di beberapa universitas tempat saya mengajar. Selalu ada mahasiswa yang sibuk dengan obrolannya sendiri ketika saya tengah menyampaikan materi di kelas.        
Saya tidak hendak menyalahkan sikap mereka. Bisa jadi metode mengajar yang belum sepenuhnya bisa diterima oleh beberapa mahasiswa yang ikut di kelas saya. Mungkin juga beberapa gelintir mahasiswa itu punya gaya belajar sendiri tanpa perlu menyimak penjelasan dosen di kelas. Demikian saya berasumsi.

Saat mengajar, saya tidak berharap hormat yang berlebihan dari para mahasiswa. Bukan, bukan itu. Melainkan respek dan respon yang sesuai porsinya tentu juga relevan dengan topik yang dibahas. Begini maksud saya, dengarlah saat materi tengah disampaikan dan tanyalah jika ada yang belum paham. Semudah itu. Alasan saya sederhana, hanya ingin mereka memanfaatkan waktu yang singkat, dua setengah jam untuk tiga sks, untuk benar-benar memahami materi. Bukan hadir di kelas cuma sekedar memenuhi persentase kehadiran sebagai salah satu syarat lulus mata kuliah tersebut.

Buat apa meluangkan waktu dua setengah jam sebanyak empat belas pertemuan (satu semester) kalau tidak mendapat tambahan ilmu? Waktu dan biaya terbuang percuma. Adakah mereka berpikir seperti ini?

Mungkinkah perlu ada kelas khusus etiket komunikasi di setiap institusi pendidikan? Entahlah. Satu hal pasti, perlu sikap menghargai ketika orang lain tengah berbicara. Minimal mendengar, kalau merasa belum mumpuni untuk merespon. Dan sangat disarankan bertanya jika tidak mengerti agar tidak salah paham. Sehingga komunikasi jadi lancar, dua arah. Tidak timpang. Tak susah untuk bertanya, hanya perlu merangkai kata sederhana untuk menyampaikan pertanyaan. Pun tak sulit untuk bisa menghargai orang yang sedang berbicara. Cukup sediakan telinga untuk mendengar dan pikiran untuk mencerna.

Aaah, ini bukan untuk menggurui. Tidak. Tapi kalau boleh saya memberi saran. Sebab, tak rugi jika kita mau menaruh respek pada orang lain yang sedang berbicara. Tanpa memandang “siapa” tapi “apa” yang disampaikan. Terkadang justru informasi yang bermanfaat datang dari sumber yang bukan “siapa-siapa”. Saya sudah mengalaminya. Salam.

*Diadaptasi dari bahasa Perancis yang bermakna “dengarkan saya”.

Thursday, November 15, 2012

Rasakan, Mimpimu Nyata!


Setiap kita punya keinginan, apapun itu. Dan segala keinginan mampu kita wujudkan. Tinggal bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk meraih cita dan asa yang tersimpan dalam benak. Demikian yang selalu saya ingat saat hendak mewujudkan impian saya, satu demi satu.

Saya masih ingat saat duduk dibangku sekolah dulu punya cita-cita yang juga diimpikan banyak orang dan sering diutarakan anak-anak kalau ditanya mau jadi apa kelak besar nanti. Jadi dokter, begitu jawaban saya pada mereka yang bertanya.  Sayangnya, saya tidak seberuntung orang lain yang berhasil mewujudkan cita-cita menjadi dokter karena tidak berhasil menembus salah satu perguruan tinggi negeri yang menjadi tujuan untuk belajar ilmu kedokteran umum. Pupus harapan. Kecewa, sudah pasti! 

Saya pun bimbang, setengah hati saat mau mendaftar ke perguruan tinggi swasta. Ketika tengah merasa bimbang inilah seorang kawan mengajak saya mendaftar di Politeknik di Jakarta. Sudah pasti tidak ada jurusan ilmu kedokteran, tapi paling tidak tersedia jurusan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari saat kelas tiga SMA. Saya putuskan untuk memilih jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Tidak pernah terbayang seperti apa mata kuliah yang ditawarkan. Tapi justru saat menempuh kuliah di sinilah saya jatuh hati pada Jurnalistik. Dunia yang kemudian saya tekuni hingga saat ini, ranah yang selalu memberi semangat pada jiwa.

Menjelang akhir perkuliahan di Politeknik, saya dan teman-teman satu kelas berkunjung ke Radio Prambors untuk studi tentang periklanan yang dipraktekkan oleh stasiun radio. Alih-alih belajar periklanan saya malah tertarik pada profesi penyiar radio. Saat berkunjung, saya terpana melihat pemeran utama film Ada Apa Dengan Cinta, Nicholas Saputra, yang piawai berbicara di depan mikrofon seolah sedang ngobrol dengan seseorang sembari mengoperasikan mixer untuk mengatur  suara. Sejak itu saya bertekad, mau jadi penyiar radio!

Demi memuluskan jalan untuk mewujudkannya, saya belajar tentang penyiaran radio di sebuah lembaga yang secara khusus memberikan ilmu tentang itu. Bukan hanya teknik siaran tapi juga diajarkan jurnalistik radio secara singkat. Semangat pun kian membuncah. Sayangnya, jalan tidak selalu mulus seperti yang dibayangkan. Usai menyelesaikan kursus singkat itu, saya tidak serta merta mudah mendapatkan pekerjaan sebagai penyiar radio. Selain pengalaman, pendidikan minimalnya Sarjana. Sedangkan saya hanya seorang diploma. Tanpa pengalaman pula! Lengkap sudah.

Sambil menunggu kesempatan, saya menambah lagi ilmu Jurnalistik agar bisa mendapat gelar Sarjana. Rupanya, ketika sudah memegang gelar Sarjana pun kesempatan yang ditunggu belum juga mendekat. Puluhan surat lamaran sudah dikirim ke berbagai media massa. Baik skala nasional maupun lokal. Lagi-lagi, pengalaman yang belum dimiliki menjadi salah satu hambatan. Saya hampir putus asa. Hingga pada satu ketika saya memperoleh kesempatan itu di sebuah Majalah Berita Mingguan. Memang bukan jadi penyiar radio seperti yang saya inginkan melainkan bertugas sebagai reporter. Bayangkan, saya bisa bertemu dengan siapa pun termasuk para pejabat negara yang harus melalui birokrasi berbelit kalau bukan dengan alasan wawancara. Juga berdiskusi dengan para pesohor lainnya. Pokoknya, saat itu saya senang bukan buatan, bisa jadi jurnalis. Bangganya bukan main!

Namun, menjadi jurnalis tak semudah yang dipikirkan. Diperlukan keterampilan dalam menembus dan mewawancarai narasumber serta menulis laporan. Satu per satu aral mulai melintang di hadapan saya. Beberapa kali laporan saya ditolak redaktur karena kurang lengkap dalam mendeskripsikan hasil observasi dan wawancara. Pernah saya ingin menangis karena sulit menembus narasumber, sementara deadline tinggal dua jam lagi. Belum lagi menulis laporannya yang juga membutuhkan waktu. Reputasi pun dipertaruhkan.

Tapi saya tidak patah arang. Pantang buat saya menyerah atas sesuatu yang sudah dipilih setelah memutuskan untuk memilih. Justru kesulitan yang datang ini memecut diri untuk tampil lebih baik, bisa memberikan hasil yang maksimal. Maka saya tingkatkan kemampuan dengan banyak berlatih menulis laporan yang baik sesuai standar yang diinginkan. Pun saya banyak berdiskusi dengan rekan-rekan jurnalis senior yang sudah piawai menghadapi narasumber. Hasilnya tidak sia-sia. Keterampilan saya dalam mewawancarai narasumber dan menulis laporan meningkat, kemampuan pun akhirnya diakui. Satu mimpi  terwujud!

Saya yakin setiap hambatan yang dihadapi datang bersama solusinya. Hanya saja, terkadang kita terlalu risau dan fokus pada kesulitan itu sendiri sehingga tak mampu berpikir jernih dan bijak untuk menyelesaikannya. Saya juga senang belajar dari pengalaman-pengalaman hidup orang lain tanpa memandang dari mana mereka berasal, tidak lantas berbangga diri atas segala sesuatu yang sudah dicapai. Karena dengan begitu bisa memperkaya diri agar lebih bijaksana dalam setiap tindakan.

Terwujudnya mimpi menjadi jurnalis kian menyulut semangat saya untuk bisa merengkuh impian lain, berhasil sampai di Puncak Mahameru! Persis satu tahun saya menyimpan mimpi ini di dalam benak dan pikiran. Kini, langkah sudah dekat untuk meraihnya. Saya awam soal mendaki gunung, tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Banyak cara untuk mewujudkannya, asal mau usaha. Bukan untuk menguji nyali, apalagi berniat menaklukkan Puncak Mahameru. Tidak.

Sejak lama saya mencintai alam dengan segala keindahannya. Alam selalu menjadi tujuan kala diri perlu rehat sejenak dari rutinitas hidup, sekedar menghirup udara sejuk dan menyegarkan mata dengan panorama yang, terkadang, sulit diungkap lewat kata. Berada di alam semesta sama halnya bersyukur pada Sang Pencipta yang dengan murah hati sudah memberi saya kesempatan untuk menikmatinya. Pun saya berharap pada Yang Maha Kuasa agar punya kesempatan untuk kembali menikmati alam ciptaan-Nya, Puncak Mahameru. Tepat pada pergantian tahun nanti.

Jadi jangan takut punya mimpi, tentukan saja impian kita, lukis dalam pikiran persis seperti yang diinginkan. Lalu coba rasakan, kalau mimpi kita nyata. Karena bermimpi itu halal, seperti yang dituliskan Karni Ilyas dalam bukunya, asal mau memenuhi syaratnya: kerja keras, kerja keras, kerja keras!   Saya sudah membuktikannya. Salam.