“The more I traveled the more I realized that fear makes strangers of people who should be friends.” – Shirley MacLaine
Perjalanan buat saya selalu memberikan kejutan. Apapun
bentuknya, karena itu saya selalu antusias saat melakukan sebuah perjalanan. Kejutan-kejutan
itulah yang memberi warna dan menyemarakkan perjalanan saya. Bertemu teman
seperjalanan selama berpergian adalah satu dari kejutan yang paling menarik
buat saya.
Senja itu, di pertengahan Desember 2010, saya memulai perjalanan
pertama sendiri. Sebelumnya perjalanan-perjalanan saya selalu bersama rekan
kerja sesama jurnalis, dalam rangka liputan. Saya ingin suatu saat bisa
berpergian sendiri tanpa embel-embel kartu pers dan tugas meliput. Hingga
kesempatan itu tiba, maka di stasiun Pasar Senen dua tahun lalu itulah saya
berada, tepat ketika sinar matahari perlahan meredup.
Senja Utama Solo, kereta api kelas bisnis yang saya tunggu.
Tujuan saya ke Jogjakarta. Ini adalah pertama kali saya berpergian dengan
kereta api kelas bisnis, sendiri. Sama sekali tidak pernah terbayang seperti
apa rasanya. Tapi satu hal pasti kereta ini tidak berpendingin ruangan laiknya
kereta api kelas eksekutif yang selalu mengantar saya kala harus pergi keluar
kota, bertugas meliput. Sebuah konsekuensi logis yang harus diterima dengan
biaya tiket yang lebih murah.
Setelah memastikan jalur tempat menunggu datangnya kereta
kepada petugas, saya beranjak menuju jalur yang tertera di tiket, jalur tiga.
Senja Utama Solo direncanakan tiba satu jam sebelum keberangkatan pukul 20.00
WIB. Jadi, saya masih punya waktu sekitar satu jam hingga kereta tiba. Biasanya,
kalau sedang menunggu selalu ada buku yang dibaca. Kali ini saya tidak
membawanya. Maka saya manfaatkan waktu untuk sekedar memperhatikan mereka yang berlalulalang
di hadapan saya.
Orang-orang dengan beragam macam latar belakang pekerjaan.
Baik yang menunggu kereta dengan tujuan masing-masing maupun mereka yang
mencoba mengadu untung dengan berjualan di selasar di antara jalur kereta.
Orang-orang dengan beragam usia, anak-anak, remaja, orang tua. Sendiri, berdua,
dan berkelompok. Masing-masing asyik dengan kesibukannya selama menunggu
kereta.
Tiba-tiba, seorang bapak menyapa dan bertanya ke mana tujuan
saya. Saya menjawab singkat. Dia bertanya lagi. Pembicaraan pun jadi panjang.
Yang menarik saat si Bapak bertanya tentang profesi saya. Parasnya langsung
menunjukkan keterkejutannya, tidak percaya ketika saya mengatakan, “dosen”. Selama
sepuluh bulan menjadi dosen, itulah ekspresi tidak percaya pertama yang saya
terima dari orang yang sama sekali asing. Si Bapak mengira kalau saya mahasiswa
yang baru lulus kemarin sore, minim pengalaman.
Tidak sepenuhnya salah, mungkin karena gaya berpakaian yang kasual
saat itu, berkaos dan celana jeans serta sepatu sneakers, membuat dia berpikir kalau saya fresh graduate. Bahkan si Bapak berpikir saya baru dua tahun beranjak
dari usia dua puluh tahun. Padahal lebih dari itu, sudah diambang tiga puluh
tahun!
Saya mahfum dengan reaksinya. Tapi juga tidak memberi
penjelasan lebih lanjut, hanya tersenyum. Sikapnya tadi semakin meneguhkan
keyakinan yang selama ini saya pegang untuk tidak menilai orang lain dari
penampilan luar. Bahwa identitas yang melekat pada diri seseorang tidak selalu
harus ditunjukkan lewat apa yang kasat mata.
Dari informasi singkat tentang profesi saya, si Bapak semakin
terbuka dengan cerita pekerjaannya. Ternyata dia juga seorang dosen, mengabdi
untuk sebuah universitas negeri di Jawa Tengah. Saat kami bertemu, dia baru
selesai menghadiri seminar di Bogor, Jawa Barat, dan hendak kembali pulang.
Pengalaman mengajarnya sungguh menarik, konversasi menjadi semakin bermakna,
apalagi kami mengajar di fakultas yang sama meski berbeda Perguruan Tinggi.
Sayang waktu jualah yang harus dengan paksa menghentikannya,
kereta yang ditunggu si Bapak datang lebih dulu. Dia menawari saya untuk
singgah di kampusnya suatu saat nanti, bahkan mengajak untuk mengajar di sana.
Bagi saya ini adalah sebuah salam perpisahan yang berkesan. Saya hanya
tersenyum membalasnya sebagai ucapan selamat jalan.
Si Bapak memang tidak menjadi teman seperjalanan saya menuju
Kota Pelajar, Jogjakarta, tapi bertemu dengannya membuat awal perjalanan saya
penuh makna.
Lain lagi ketika saya menuju Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk
bertemu dengan keluarga paman dari ibu saya. Kala itu, enam bulan setelah
pertemuan singkat dengan si Bapak tadi, yang menjadi teman seperjalanan saya
adalah seorang mahasiswa dari Perguruan Tinggi negeri di Bandung. Dia duduk di
sebelah saya di bus yang membawa kami ke tujuan.
“Mau kembali ke kos di
Bandung ya?”, menjadi pembuka diantara kami. Saya tergugu, kali ini saya yang
menunjukkan ekspresi kaget. Lagi-lagi disangka mahasiswa! Tepatnya mahasiswa
yang baru saja pulang ke rumah dan siap kembali ke kampus, artinya kali ini
dianggap mahasiswa yang belum lulus, beberapa tingkat di bawah fresh graduate.
Sebuah kejutan di awal perjalanan menuju Tasikmalaya. Tapi
ada yang lain yang jauh lebih menarik. Setelah sedikit penjelasan kalau saya
bukan mahasiswa yang kuliah di Bandung, percakapan kami beralih ke
cerita-cerita seputar dirinya. Sibuk menyelesaikan skripsi di Fakultas
Psikologi, tapi lebih sibuk dengan kegiatan paduan suara. Bahkan dia tengah
mempersiapkan diri untuk tampil di ajang bertaraf internasional, beberapa
negara di Eropa jadi tujuannya. Great!
Tentang paduan suara ini sudah ditekuninya sejak masih
sekolah. Untuk urusan satu ini, dia tidak main-main, segenap perhatian
diberikannya, fokus. Hasilnya memuaskan. Dia mendapat beasiswa dari sekolahnya
untuk melanjutkan kuliah. Bandung menjadi tujuan, bukan sembarang pilih, tapi
di universitas tempatnya kuliah itu ada kelompok paduan suara yang hebat,
mengukir prestasi di mana-mana. Jadilah dia bergabung di sana.
Dia berhasil meraih mimpinya, bernyanyi di panggung
internasional. Tekadnya kuat, demi membuktikan kalau pilihannya tepat. Saya
takjub dengan usahanya dalam memperjuangkan impiannya. Meski baru saja kami
bertemu tapi saya yakin dia tidak sedang membual. Dan itu terbukti saat kami
bertemu lagi setelah perjalanan singkat di dalam bus.
Sudah tiga tahun sejak pertemuan itu dia masih menjadi
pelatih kelompok paduan suara di sekolah adik saya, di mana adik saya menjadi
salah satu murid paduan suaranya, tak heran karena dia memang alumni di sana. Sebuah
kebetulan yang aneh. Tapi keanehan-keanehan itu biasanya menjadi awal kenangan
yang tidak mudah dilupakan.
Saya tidak ingin mempertanyakannya lebih jauh.
Sampai sekarang kami masih berteman baik. Suatu ketika, saat menjemput adik yang sedang berlatih paduan
suara di rumahnya, dua lembar kartu pos dia berikan. “Oleh-oleh”, katanya
sambil menyerahkan ke saya. Kartu pos bergambar lanskap kota yang identik
dengan sebuah negara, saya tidak perlu susah payah menerkanya, di situ tertulis
“Berlin” dan “Praha”. Hebat!
Sekali lagi dia benar-benar menunjukkan kemampuannya,
bakatnya, dan tekadnya yang kuat. Bernyanyi sudah melekat dalam dirinya,
menyatu dengan setiap embusan nafasnya.