Titip surat lewat pak pos. Demikian yang sering saya lakukan saat masih sekolah ketika ingin bertukar kabar dengan teman-teman yang tinggal di luar kota dan negara lain. Saat pak pos datang ke rumah mengantar balasan surat dari kawan, saya senang karena dua hal. Dapat cerita baru dari teman dan tambahan koleksi prangko. Saya memang filatelis. Saling bertukar cerita lewat surat ini saya lakukan hingga lulus Sekolah Menengah Atas. Lalu seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, saya pun beralih ke radio panggil. Pager, begitu namanya. Bentuknya segi empat, lebih besar sedikit dari kotak korek api, warna-warni yang bisa dipilih sesuai keinginan si pemakai. Untuk mengirim pesan harus mengubungi operator di nomor yang sudah ditentukan. Si pengirim pesan memberitahukan nomor ID caller pemilik pager, sebutkan pesan yang mau disampaikan lalu operator akan mengulang sebelum dikirim. Pesan akan sampai di pager si pemilik sesaat setelah operator mengirimkannya.
sumber gambar di sini |
Bisa dibilang sistem komunikasi ini tidak langsung menghubungkan antara si pengirim dan penerima pesan karena harus lewat perantara yakni operator. Sayangnya, eksistensi pager tidak lama karena harus bersaing dengan telepon seluler berbasis GSM yang mulai ikut ambil bagian dikancah industri telekomunikasi Indonesia.
Perkembangan teknologi telepon seluler (ponsel) pun sangat pesat. Yang semula hanya bisa melayani telepon dan pesan singkat kini dengan beragam fiturnya ponsel dapat melayani kebutuhan lain penggunanya. Sebut saja fitur email, social networking, fasilitas mengetik dengan format .doc dan membaca dokumen dengan format pdf, serta fitur-fitur multimedia yang dijamin bisa menghibur si pemiliknya. Ponsel pintar, begitu disebutnya. Istilah menterengnya Smart Phone. Kini hadir teknologi ponsel Blackberry (BB). Ini lebih canggih lagi. Menawarkan fitur utama broadcast blackberry messenger (bbm) untuk berkomunikasi sesama pengguna BB setelah saling bertukar pin.
Selain itu, si pengguna bisa terkoneksi dengan internet kapanpun, dimanapun, asal ada sinyal dan sudah berlangganan dengan provider ponsel bersangkutan. Fasilitas multimedia tetap diperhitungkan. Konsumen ponsel pun semakin dimanjakan oleh sebuah benda sebesar genggaman tangan ini. Sebagian besar masyarakat menjadikan ponsel-ponsel canggih ini sebagai kebutuhan dalam hidup, bukan lagi sekedar keinginan meski, mungkin, banyak pemakainya yang belum maksimal memanfaatkan fitur-fitur yang disediakan. Harga bukan lagi masalah. Siapa yang mampu beli bisa gaya dengan ponsel-ponsel pintar itu. Pun saya merupakan salah satu pengguna Blackberry dengan segala kecanggihannya. Sekedar mendengar cerita terbaru dari kawan tidak perlu lagi jasa pak pos. Bbm menjadikannya mudah. Lintas negara sekalipun.
Sejatinya, ponsel pintar hadir untuk memudahkan penggunanya melakukan beberapa aktifitas. Namun ironis, banyak penggunanya yang tidak sepintar ponsel pintar yang mereka gunakan. Sebut saja penyalahgunaan Blackberry oleh mahasiswa untuk "membantu" mereka menjawab soal-soal ujian dari dosen. Menyontek, demikian nama populernya. Saat ujian berlangsung memang tidak ada peraturan yang menyebutkan ponsel harus diletakkan di meja dosen seperti tas mahasiswa yang harus dikumpulkan di depan kelas. Peraturan hanya menyebutkan ponsel harus digetarkan agar tidak mengganggu ketenangan saat menjawab soal-soal ujian. Celah inilah yang dimanfaatkan mahasiswa.
Saat dosen menerangkan materi, beberapa mahasiswa terlihat mengetikkan sesuatu di blackberry-nya sambil sesekali matanya melihat ke layar infocus. Entah sedang bbm/sms-an dengan teman atau mengetik ulang materi yang sedang disampaikan dosen, secepat dan sesingkat mungkin, yang paham isi ketikannya hanya si empunya blackberry. Lalu, saat ujian berlangsung beberapa mahasiswa nampak sibuk dengan blackberry mereka. Ada yang sekedar bbm/sms-an. Tapi ada yang lagi ngebet alias nyontek, ngintip materi-materi yang sudah diketik sebelumnya. Mereka yang tidak sempat atau malas ngetik ulang tapi terkoneksi dengan internet bisa googling lewat blackberry-nya, cari referensi yang mirip dengan materi dosen dan bisa memberikan "pencerahan" buat menjawab soal-soal ujian. Ini dilakukan mahasiswa sambil sesekali ngelirik dosen yang lagi ngawas di depan.
Ilustrasi: menyontek lewat BB. Sumber gambar di sini |
Demikian sekelumit kisah hasil pengamatan saya terhadap para mahasiswa yang ikut di kelas saya di beberapa universitas di Jakarta. Kecurigaan saya bermula saat melihat beberapa mahasiswa yang asik dengan blackberry-nya saat ujian tengah semester (UTS) berlangsung. Agar tidak terlalu mencolok blackberry diletakkan di atas meja. Tangan kiri sibuk mencet-mencet keypad, tangan kanan memindahkan isi materi yang dimaksud. Awalnya saya tidak ambil pusing. Tapi saat melanjutkan materi usai UTS, kembali beberapa mahasiswa yang sama terlihat mengetik ulang materi yang saya sampaikan. Beberapa hari kemudian, saya mengadakan quiz tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tak dinyana beberapa mahasiswa yang sama itu kembali memanfaatkan blackberry untuk menyontek. Ada yang tertangkap mata oleh saya, tapi mereka cuek. Nyontek dilanjutkan ketika mereka lengah dari pandangan pengawas. Sekali dua kali dianggap aman, lama-lama jadi kebiasaan. Sungguh memprihatinkan.
"I would prefer even to fail with honor than to win by cheating".
-Sophocles- One of the most influential writers of Ancient Greece.
Padahal saat menjadi mahasiswa itulah kematangan sikap seorang yang menuju dewasa sepenuhnya ditempa. Dan menyontek jauh dari sikap seorang dewasa, juga tidak mencerminkan tanggung jawab. Bukan tidak mungkin perilaku curang ini menjadi tradisi rutin dan terus melekat hingga mereka terjun ke dunia kerja. Entah siapa yang harus disalahkan atas kondisi ini. Rasanya panjang kalau harus merunut ke belakang. Tapi satu hal yang pasti, niat. Ya, niat. Setidaknya ini menurut pemahaman saya.
Kalau mahasiswa hadir di kelas dengan niat untuk sungguh-sungguh belajar, menyimak dengan baik dan mau terlibat dalam diskusi ilmiah, tentunya bukan perkara sulit dalam mengerjakan tugas dan menjawab soal-soal ujian dari dosen. Maka semuanya berpulang pada niat si mahasiswa yang hadir di kelas. Sekedar menuhin persentasi absen sebagai salah satu syarat kelulusan atau memang benar-benar ingin menimba ilmu. Satu hal yang pasti, tidak ada kata toleransi bagi mahasiswa saya yang menyontek. Salam.