Setiap kita
punya keinginan, apapun itu. Dan segala keinginan mampu kita wujudkan. Tinggal
bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk meraih cita dan asa yang tersimpan
dalam benak. Demikian yang selalu saya ingat saat hendak mewujudkan impian
saya, satu demi satu.
Saya masih ingat
saat duduk dibangku sekolah dulu punya cita-cita yang juga diimpikan banyak
orang dan sering diutarakan anak-anak kalau ditanya mau jadi apa kelak besar
nanti. Jadi dokter, begitu jawaban saya pada mereka yang bertanya. Sayangnya, saya tidak seberuntung orang lain
yang berhasil mewujudkan cita-cita menjadi dokter karena tidak berhasil
menembus salah satu perguruan tinggi negeri yang menjadi tujuan untuk belajar
ilmu kedokteran umum. Pupus harapan. Kecewa, sudah pasti!
Saya pun bimbang,
setengah hati saat mau mendaftar ke perguruan tinggi swasta. Ketika tengah merasa
bimbang inilah seorang kawan mengajak saya mendaftar di Politeknik di Jakarta.
Sudah pasti tidak ada jurusan ilmu kedokteran, tapi paling tidak tersedia
jurusan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari saat kelas tiga SMA. Saya
putuskan untuk memilih jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Tidak pernah
terbayang seperti apa mata kuliah yang ditawarkan. Tapi justru saat menempuh
kuliah di sinilah saya jatuh hati pada Jurnalistik. Dunia yang kemudian saya
tekuni hingga saat ini, ranah yang selalu memberi semangat pada jiwa.
Menjelang akhir
perkuliahan di Politeknik, saya dan teman-teman satu kelas berkunjung ke Radio
Prambors untuk studi tentang periklanan yang dipraktekkan oleh stasiun radio.
Alih-alih belajar periklanan saya malah tertarik pada profesi penyiar radio.
Saat berkunjung, saya terpana melihat pemeran utama film Ada Apa Dengan Cinta,
Nicholas Saputra, yang piawai berbicara di depan mikrofon seolah sedang ngobrol dengan seseorang sembari mengoperasikan
mixer untuk mengatur suara. Sejak itu saya bertekad, mau jadi
penyiar radio!
Demi memuluskan
jalan untuk mewujudkannya, saya belajar tentang penyiaran radio di sebuah
lembaga yang secara khusus memberikan ilmu tentang itu. Bukan hanya teknik
siaran tapi juga diajarkan jurnalistik radio secara singkat. Semangat pun kian
membuncah. Sayangnya, jalan tidak selalu mulus seperti yang dibayangkan. Usai menyelesaikan
kursus singkat itu, saya tidak serta merta mudah mendapatkan pekerjaan sebagai
penyiar radio. Selain pengalaman, pendidikan minimalnya Sarjana. Sedangkan saya
hanya seorang diploma. Tanpa pengalaman pula! Lengkap sudah.
Sambil menunggu
kesempatan, saya menambah lagi ilmu Jurnalistik agar bisa mendapat gelar
Sarjana. Rupanya, ketika sudah memegang gelar Sarjana pun kesempatan yang ditunggu
belum juga mendekat. Puluhan surat lamaran sudah dikirim ke berbagai media
massa. Baik skala nasional maupun lokal. Lagi-lagi, pengalaman yang belum dimiliki
menjadi salah satu hambatan. Saya hampir putus asa. Hingga pada satu ketika
saya memperoleh kesempatan itu di sebuah Majalah Berita Mingguan. Memang bukan
jadi penyiar radio seperti yang saya inginkan melainkan bertugas sebagai
reporter. Bayangkan, saya bisa bertemu dengan siapa pun termasuk para pejabat negara
yang harus melalui birokrasi berbelit kalau bukan dengan alasan wawancara. Juga
berdiskusi dengan para pesohor lainnya. Pokoknya, saat itu saya senang bukan
buatan, bisa jadi jurnalis. Bangganya bukan main!
Namun, menjadi jurnalis
tak semudah yang dipikirkan. Diperlukan keterampilan dalam menembus dan mewawancarai
narasumber serta menulis laporan. Satu per satu aral mulai melintang di hadapan
saya. Beberapa kali laporan saya ditolak redaktur karena kurang lengkap dalam
mendeskripsikan hasil observasi dan wawancara. Pernah saya ingin menangis
karena sulit menembus narasumber, sementara deadline
tinggal dua jam lagi. Belum lagi menulis laporannya yang juga membutuhkan
waktu. Reputasi pun dipertaruhkan.
Tapi saya tidak
patah arang. Pantang buat saya menyerah atas sesuatu yang sudah dipilih setelah
memutuskan untuk memilih. Justru kesulitan yang datang ini memecut diri untuk
tampil lebih baik, bisa memberikan hasil yang maksimal. Maka saya tingkatkan
kemampuan dengan banyak berlatih menulis laporan yang baik sesuai standar yang
diinginkan. Pun saya banyak berdiskusi dengan rekan-rekan jurnalis senior yang
sudah piawai menghadapi narasumber. Hasilnya tidak sia-sia. Keterampilan saya dalam
mewawancarai narasumber dan menulis laporan meningkat, kemampuan pun akhirnya
diakui. Satu mimpi terwujud!
Saya yakin
setiap hambatan yang dihadapi datang bersama solusinya. Hanya saja, terkadang
kita terlalu risau dan fokus pada kesulitan itu sendiri sehingga tak mampu
berpikir jernih dan bijak untuk menyelesaikannya. Saya juga senang
belajar dari pengalaman-pengalaman hidup orang lain tanpa memandang dari mana
mereka berasal, tidak lantas berbangga diri atas segala sesuatu yang sudah
dicapai. Karena dengan begitu bisa memperkaya diri agar lebih bijaksana dalam
setiap tindakan.
Terwujudnya
mimpi menjadi jurnalis kian menyulut semangat saya untuk bisa merengkuh impian
lain, berhasil sampai di Puncak Mahameru! Persis satu tahun saya menyimpan
mimpi ini di dalam benak dan pikiran. Kini, langkah sudah dekat untuk meraihnya.
Saya awam soal mendaki gunung, tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Banyak
cara untuk mewujudkannya, asal mau usaha. Bukan untuk menguji nyali, apalagi
berniat menaklukkan Puncak Mahameru. Tidak.
Sejak lama saya
mencintai alam dengan segala keindahannya. Alam selalu menjadi tujuan kala diri
perlu rehat sejenak dari rutinitas hidup, sekedar menghirup udara sejuk dan
menyegarkan mata dengan panorama yang, terkadang, sulit diungkap lewat kata. Berada
di alam semesta sama halnya bersyukur pada Sang Pencipta yang dengan murah hati
sudah memberi saya kesempatan untuk menikmatinya. Pun saya berharap pada Yang
Maha Kuasa agar punya kesempatan untuk kembali menikmati alam ciptaan-Nya, Puncak
Mahameru. Tepat pada pergantian tahun nanti.
Jadi jangan
takut punya mimpi, tentukan saja impian kita, lukis dalam pikiran persis
seperti yang diinginkan. Lalu coba rasakan, kalau mimpi kita nyata. Karena bermimpi
itu halal, seperti yang dituliskan Karni Ilyas dalam bukunya, asal mau memenuhi
syaratnya: kerja keras, kerja keras, kerja keras! Saya sudah membuktikannya. Salam.