Sore pada pertengahan Oktober lalu. Saya membaca sebuah tweet yang
isinya informasi pendaftaran "Merengkuh Impian Di Puncak Tertinggi Pulau
Jawa". Semeru!!
Memorable trekking #Semeru 2013, demikian sebutan yang diberikan
@BackpackerStore selaku panitia.
Tawaran yang menarik karena sepulang dari Bromo pada November 2011 saya
menguatkan tekad untuk bisa sampai di puncak Semeru. Setelah membaca
dengan lengkap informasinya, tawaran itu bukan lagi sekedar menarik.
Tapi lebih dari itu. Saya antusias karena setiap peserta memorable
trekking #Semeru 2013 tersebut harus menulis jurnal perjalanannya. Bukan
jenis tulisan yang bersifat teknis bagaimana untuk sampai di Semeru.
Bukan, bukan itu. Tapi sebuah travelogue. Catatan perjalanan yang
bercerita pengalaman apa yang didapat sehingga bisa memotivasi diri
untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana.
Seperti yang kita tahu, mendaki gunung bukan soal mudah. Perlu persiapan
fisik yang matang. Mental pun harus tahan uji. Maka bagaimana manajemen
diri, termasuk emosi, diatur dengan baik agar tujuan bisa tercapai -
sampai di puncak dan turun kembali dengan selamat. Nah, kawan,
pengendalian diri inilah yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari kelak. Demikian saya mencoba mengartikan secara bebas
travelogue yang menjadi salah satu syarat pendakian memorable trekking
#Semeru 2013.
Kumpulan tulisannya akan dijadikan buku yang kemudian sebagian besar
hasil penjualan dan royaltinya akan disumbangkan untuk konservasi hutan
Sumatera melalui sebuah NGO yang berkampanye
untuk lingkungan secara global.
Setelah memahami dengan baik persyaratannya, saya segera mendaftarkan
diri. Panitia pun bertindak cepat. Cekatan merespon setiap peserta.
Informasi-informasi penting terbaru segera sampai diemail tiap peserta.
Komunikasi lewat akun twitter panitia dengan peserta semakin intens.
Group bbm pun dibentuk untuk semakin memudahkan arus informasi penting
soal teknis memorable trekking #Semeru 2013. "Backpacker", dipakai
sebagai identitas grup bbm bagi peserta.
-----00----
Saya termasuk salah satu pengguna fasilitas bbm yang, sebetulnya, tidak antusias untuk gabung dengan group. Kalaupun nimbrung seperlunya saja. Bagi saya konversasi personal lebih tepat sasaran, pesan yang disampaikan lebih terhindar dari noise - gangguan. Tapi group "Backpacker" ini lain soal. Segala informasi teknis pendakian disampaikan di sini. Satu bertanya, semua anggota group bisa tahu penjelasan dari panitia. Masukan dari sesama peserta tertampung dalam satu group itu. Demikian pertimbangan saya saat menerima undangan bergabung dalam group "Backpacker".
Hitung-hitung, saya juga dapat kenalan baru sesama peserta. Siapa tahu, mungkin, pertemanan ini bisa berlanjut untuk trip selanjutnya usai pendakian Memorable Trekking #Semeru 2013 nanti. Saya senang bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal. Saat berinteraksi dengan mereka saya cenderung untuk memposisikan diri tidak banyak tahu. Kalau saya sudah merasa tahu segalanya, maka saya tidak bisa mengisi dan menambah diri dengan pengalaman yang baru. Informasi yang saya punya tidak berkembang. Sebaliknya, pun saya akan berbagi dengan mereka untuk sesuatu hal yang saya pahami dengan baik.
Tidak pernah ada gambaran apapun tentang mereka yang menjadi anggota group "Backpacker". Tapi setidaknya, saya bisa sedikit menduga karakter mereka dari setiap kalimat yang dilontarkannya. Tidak bermaksud sok tahu, tidak. Saya berasumsi, untaian kalimat yang terucap itu buah pikiran seseorang yang bisa mencerminkan karakter si empunya. Maaf, jika kurang tepat.
Pengalaman menarik pun dimulai setelah saya bergabung dengan tiga puluh orang teman baru di group "Backpacker". Diawal, saya senang mengamati percakapan mereka. Saling menyapa. Ramah, akrab, dan penuh canda tawa. Di sini, tiga puluh orang dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul. Tidak perlu identitas khusus untuk nimbrung dalam kelompok ini layaknya berkumpul dengan elit intelektual. Pun tidak dibutuhkan status sosial ekonomi atas biar bisa ngobrol seperti yang umumnya terjadi kalau mau bersosialisasi dengan kaum socialite. Di sini, beragaram karakter dari macam-macam latar belakang saling berbagi. Asyik bercengkrama. Mereka tinggalkan identitas yang melekat pada diri, yang dibawa hanya nama dan pengalaman untuk berbagi.
Dari seorang
@christmoris, saya mendapat tambahan ilmu fotografi. Maklum kawan yang satu ini berprofesi sebagai fotografer.
Travel photographer, begitu dia melabeli dirinya. Saya senang memanggilnya Mo, kependekan dari Moris. Percakapan personal kami terjalin karena soal fotografi ini. Saya memang pecinta fotografi, maka tidak sulit untuk memulai komunikasi dengan Mo yang juga pecinta aviasi. Menariknya lagi, kami sama-sama mengerti bahasa perancis. Mo mengaku pernah belajar bahasa perancis selama lima semester. Sedangkan saya pernah tercatat sebagai siswa kelas bahasa perancis di Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) Jakarta selama dua tahun. Maka topik pembicaraan kami semakin berkembang. Mo senang berbagi cerita perjalanannya menjelajah negeri-negeri tetangga. Hal-hal unik hingga lucu pun diceritakannya. Bagi saya, Mo seorang penutur yang baik dan pandai menggunakan ekspresi wajahnya saat bercerita. Dia juga seorang yang humoris. Padahal kalau sedang diam, wajahnya nampak serius. Jauh dari kesan humoris.
Soal pengalaman naik gunung, saya banyak mendapat cerita dari
@AryataraBray -
@akhmad_19 -
@kengaga_KRSB -
@yastiocta -
@DaudKeong dan beberapa teman lain semisal
@RizqiAmalia1-
@fourantyy dan
@siepho . Mereka banyak berbagi tentang teknis mendaki gunung mulai dari perlengkapan hingga logistik. Lalu, persiapan fisik dan mental seperti apa yang diperlukan untuk trekking hingga pengalaman unik dan menarik pun diceritakan. Cerita-cerita itu kian seru ketika
@BackpackerStore yang ahli di
mountaineering melengkapi kisah teman-teman saat mendaki gunung. Saya semakin bersemangat setelah mendengar pengalaman-pengalaman mereka. Semangat ini juga terpancar dari teman-teman lain yang belum pernah mendaki gunung
@kunthiadinegoro-
@dinaapuspita -
@fadly14_ -
@r13ns -
@STurahmah dan beberapa yang lain termasuk saya sendiri, kalau ke gunung Bromo tidak dikategorikan sebagai kegiatan mendaki gunung.
Kalau yang sudah pernah mendaki gunung boleh bangga dengan
pengalaman-pengalamannya, yang belum berpengalaman tidak kalah seru.
Mereka punya cerita sendiri. Logistik. Itu yang diandalkan. Setidaknya
ini berdasarkan pengamatan saya.
@radhesia dan
@uwie_you
adalah yang paling sering saya dapati tengah membicarakan makanan apa
yang akan dimasak kelak mereka tiba di area pendakian memorable trekking
#Semeru 2013 nanti. Buat saya ini menarik. Lebih menarik lagi ketika
panitia turut
nimbrung berbagi tentang asupan makanan yang sehat saat mendaki gunung. Cerita tentang makanan ini kian seru ketika
@AstiDode dan
@christmoris menyebutkan semua makanan yang menggugah selera. Sungguh, saya merasa seperti dalam sebuah keluarga yang punya banyak cerita.
|
Peserta Jabodetabek Memorable Trekking #Semeru 2013 - photo courtesy of Fadly Kurniawan |
Dari soal persiapan hingga teknis pendakian, topik pembicaraan "Backpacker" berkembang ke hampir segala hal. Apapun, asal bukan SARA. Dan layaknya dua insan manusia yang tengah menghadapi tahap penjajakan satu sama lain, begitu juga hubungan para anggota "Backpacker". Proses itu semakin laju. Tidak lagi ada sungkan untuk sekedar melontarkan canda. Suasana hangat pun tercipta. Bahkan sempat mencuat upaya-upaya yang mengarah pada pendekatan personal. Tak jarang saya terpingkal dibuatnya. Modus, begitu istilah mereka. Buat saya itu sebuah romantika. Romantika Modus. Soal benar atau tidak berpulang pada hati masing-masing.
Satu hal yang pasti, romantika modus ini semakin menghidupkan suasana seolah kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Padahal, belum sekalipun bertatap muka. Saya semakin takjub akan kekuatan kata-kata. Bagaimana untaian kata yang terangkum dalam kalimat bisa meyakinkan dan menyatukan beragam karakter sekalipun mereka belum pernah bersua. Keakraban yang hadir di tengah-tengah para pemilik mimpi untuk sampai di puncak Mahameru pun semakin kuat.
Karena keakraban tersebut
technical meeting yang sedianya direncanakan oleh panitia sekitar Desember mendatang pun dipercepat. Meski mereka menyebutnya
kopdar, tapi materi yang dibicarakan sudah seperti
technical meeting. Demikian diakui oleh panitia yang turut hadir. Antusiasme terpancar dari respon masing-masing peserta yang bersedia hadir pada acara kopdar ini. Sepakat kami bertemu di sebuah area di
roof top dengan beragam pilihan tempat makan.
Maka di satu malam awal November ini, sekitar dua puluh orang dengan beragam identitas yang melekat pada diri masing-masing duduk mengelilingi meja di sebuah restoran di
Sky Dinning di Jakarta. Latar belakang kami berbeda. Baik pendidikan maupun profesi. Namun, kami tidak menjadi asing satu sama lain. Kami bertukar cerita. Membagi pengalaman. Juga canda tawa.
Malam itu, mereka semakin dekat di hati saya. Mungkin aneh. Atau mungkin ini yang dinamakan cinta,
a strange love, karena baru beberapa kali bertemu tapi sudah timbul rasa itu. Tapi saya tidak ambil pusing.
A strange love hanya sebuah istilah karena bagi saya rasa itu lebih kepada layaknya cinta yang hadir dalam sebuah keluarga. Memang, bersama mereka saya merasa mendapati sebuah keluarga baru. Keluarga yang kelak menemani saya menggapai mimpi berada di puncak Mahameru di awal tahun 2013. Maka tak salah jika sejak sekarang saya memupuk cinta ini buat mereka,
love the strangers, yang kelak juga menjadi penyemangat saya kala lelah dalam perjalanan... Salam.