Tuesday, December 18, 2012

Satu Angan, Tentangmu yang Begitu Indah


Setiap kita punya keinginan, apapun itu. Dan segala keinginan mampu kita wujudkan. Tinggal bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk meraih cita dan asa yang tersimpan dalam benak. Demikian yang selalu saya ingat saat hendak mewujudkan impian saya, satu demi satu.

Saya tidak pernah berpikir untuk mendaki gunung. Apalagi bermimpi untuk sampai di puncaknya. Hingga satu saat saya terpikat indahnya panorama Gunung Bromo yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Suatu saat saya harus berada di sana! Demikian saya bertekad pada Maret 2011, terpatri di dalam hati dan pikiran. Sayangnya, mimpi itu tidak langsung menjadi kenyataan, perlu waktu yang panjang untuk merealisasikannya. Aktivitas di kantor yang padat dan kegiatan mengajar di Kampus menjadi kendala utama saat itu. Tapi saya tidak patah arang hingga akhirnya keinginan itu terwujud dipenghujung tahun 2011.

Ada yang menarik ketika berada di Gunung Bromo. Kala itu pandang mata saya sempat tertuju pada Puncak Mahameru. Seorang warga di sana bercerita kepada saya tentang Gunung Semeru dan puncaknya yang terkenal dengan sebutan puncak para dewa. Tidak perlu waktu lama untuk saya jatuh hati pada Mahameru. Selain pesona alamnya yang memukau, kata “Mahameru” itu sendiri punya daya tarik tersendiri di telinga saat saya mendengarnya. Lalu, berulang kali kata “Mahameru” terucap di bibir yang kemudian saya simpan di dalam hati dan pikiran. Lagi, saya bertekad suatu saat bisa menjejakkan kaki di Puncak Mahameru.

Persis satu tahun saya menyimpan mimpi itu di dalam benak dan pikiran. Kini, langkah sudah dekat untuk meraihnya. Saya awam soal mendaki gunung, tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Banyak cara untuk mewujudkannya, asal mau usaha. Salah satunya usaha untuk menyiapkan alat, fisik, dan mental, hingga logistik yang benar-benar diperhitungkan kebutuhan kalorinya. Bagi saya mendaki gunung merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus. Inilah seninya. Jadi, buat saya bukan untuk menguji nyali, apalagi berniat menaklukkan Puncak Mahameru. Tidak.

Sejak lama saya mencintai alam dengan segala keindahannya. Alam selalu menjadi tujuan kala diri perlu rehat sejenak dari rutinitas hidup, sekedar menghirup udara sejuk dan menyegarkan mata dengan panorama yang, terkadang, sulit diungkap lewat kata. Berada di alam semesta sama halnya bersyukur pada Sang Pencipta yang dengan murah hati sudah memberi saya kesempatan untuk menikmati alam ciptaan-Nya. Pun saya berharap pada Yang Kuasa agar punya kesempatan untuk kembali menikmati alam ciptaan-Nya, berada di tanah tertinggi Pulau Jawa, Puncak Mahameru, tepat pada pergantian tahun nanti. Salam.

Catatan:
Tulisan ini disiapkan sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan Memorable Trekking #Semeru 2013 yang diselenggarakan oleh @BackpackerStore

Saturday, December 15, 2012

Ecoutez Moi*

"Upload fotonya, update statusnya nanti ya ade-ade. Kita mau ngomong, tolong dengar dulu.”
 Seorang pesohor, penyanyi kenamaan di Indonesia yang siang itu tengah menjadi salah satu juri pada perlombaan paduan suara, protes kepada para audien yang kebanyakan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalimat itu dilontarkan saat dia dan dua orang temannya berdiri di panggung ketika mau menyampaikan prosedur penilaian lomba. Kondisi ini saya dapati beberapa waktu lalu ketika mengantar adik yang bersama teman-teman paduan suara mengikuti acara itu di bilangan Jakarta Selatan. Memang, saat itu suasana riuh. Ramai. Peserta lomba, yang berasal dari beberapa sekolah di Jakarta, sibuk dengan Blackberry dan obrolan masing-masing. Duduk berkerumun dengan kelompoknya. Sempat saya mendengar mereka rumpi-rumpi soal penampilan lawan dari sekolah lain. Komentar ini dan itu. Kebetulan posisi duduk saya dekat dengan mereka. Jadi saya bukan curi dengar.

            Situasi ini bukan kali pertama yang saya temui. Jadi, bukan sesuatu yang asing. Kerap kali saya mendapati beberapa mahasiswa ngobrol ketika saya sedang menjelaskan materi perkuliahan di kelas. Tapi justru bungkam, meski tidak semua, saat saya melontarkan pertanyaan. Diam. Menunduk, serius membaca catatan. Ada juga yang pasang muka seolah sedang berpikir, merangkai jawab tapi tak kunjung diungkapkan. Hanya beberapa gelintir mahasiswa yang berinisiatif menjawab pertanyaan saya. Pun ini terjadi saat rekan sesama dosen tengah mengajar. Setidaknya itu yang saya amati. Rupanya ini terjadi di beberapa universitas tempat saya mengajar. Selalu ada mahasiswa yang sibuk dengan obrolannya sendiri ketika saya tengah menyampaikan materi di kelas.        
Saya tidak hendak menyalahkan sikap mereka. Bisa jadi metode mengajar yang belum sepenuhnya bisa diterima oleh beberapa mahasiswa yang ikut di kelas saya. Mungkin juga beberapa gelintir mahasiswa itu punya gaya belajar sendiri tanpa perlu menyimak penjelasan dosen di kelas. Demikian saya berasumsi.

Saat mengajar, saya tidak berharap hormat yang berlebihan dari para mahasiswa. Bukan, bukan itu. Melainkan respek dan respon yang sesuai porsinya tentu juga relevan dengan topik yang dibahas. Begini maksud saya, dengarlah saat materi tengah disampaikan dan tanyalah jika ada yang belum paham. Semudah itu. Alasan saya sederhana, hanya ingin mereka memanfaatkan waktu yang singkat, dua setengah jam untuk tiga sks, untuk benar-benar memahami materi. Bukan hadir di kelas cuma sekedar memenuhi persentase kehadiran sebagai salah satu syarat lulus mata kuliah tersebut.

Buat apa meluangkan waktu dua setengah jam sebanyak empat belas pertemuan (satu semester) kalau tidak mendapat tambahan ilmu? Waktu dan biaya terbuang percuma. Adakah mereka berpikir seperti ini?

Mungkinkah perlu ada kelas khusus etiket komunikasi di setiap institusi pendidikan? Entahlah. Satu hal pasti, perlu sikap menghargai ketika orang lain tengah berbicara. Minimal mendengar, kalau merasa belum mumpuni untuk merespon. Dan sangat disarankan bertanya jika tidak mengerti agar tidak salah paham. Sehingga komunikasi jadi lancar, dua arah. Tidak timpang. Tak susah untuk bertanya, hanya perlu merangkai kata sederhana untuk menyampaikan pertanyaan. Pun tak sulit untuk bisa menghargai orang yang sedang berbicara. Cukup sediakan telinga untuk mendengar dan pikiran untuk mencerna.

Aaah, ini bukan untuk menggurui. Tidak. Tapi kalau boleh saya memberi saran. Sebab, tak rugi jika kita mau menaruh respek pada orang lain yang sedang berbicara. Tanpa memandang “siapa” tapi “apa” yang disampaikan. Terkadang justru informasi yang bermanfaat datang dari sumber yang bukan “siapa-siapa”. Saya sudah mengalaminya. Salam.

*Diadaptasi dari bahasa Perancis yang bermakna “dengarkan saya”.