Thursday, November 15, 2012

Rasakan, Mimpimu Nyata!


Setiap kita punya keinginan, apapun itu. Dan segala keinginan mampu kita wujudkan. Tinggal bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk meraih cita dan asa yang tersimpan dalam benak. Demikian yang selalu saya ingat saat hendak mewujudkan impian saya, satu demi satu.

Saya masih ingat saat duduk dibangku sekolah dulu punya cita-cita yang juga diimpikan banyak orang dan sering diutarakan anak-anak kalau ditanya mau jadi apa kelak besar nanti. Jadi dokter, begitu jawaban saya pada mereka yang bertanya.  Sayangnya, saya tidak seberuntung orang lain yang berhasil mewujudkan cita-cita menjadi dokter karena tidak berhasil menembus salah satu perguruan tinggi negeri yang menjadi tujuan untuk belajar ilmu kedokteran umum. Pupus harapan. Kecewa, sudah pasti! 

Saya pun bimbang, setengah hati saat mau mendaftar ke perguruan tinggi swasta. Ketika tengah merasa bimbang inilah seorang kawan mengajak saya mendaftar di Politeknik di Jakarta. Sudah pasti tidak ada jurusan ilmu kedokteran, tapi paling tidak tersedia jurusan yang sesuai dengan ilmu yang saya pelajari saat kelas tiga SMA. Saya putuskan untuk memilih jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Tidak pernah terbayang seperti apa mata kuliah yang ditawarkan. Tapi justru saat menempuh kuliah di sinilah saya jatuh hati pada Jurnalistik. Dunia yang kemudian saya tekuni hingga saat ini, ranah yang selalu memberi semangat pada jiwa.

Menjelang akhir perkuliahan di Politeknik, saya dan teman-teman satu kelas berkunjung ke Radio Prambors untuk studi tentang periklanan yang dipraktekkan oleh stasiun radio. Alih-alih belajar periklanan saya malah tertarik pada profesi penyiar radio. Saat berkunjung, saya terpana melihat pemeran utama film Ada Apa Dengan Cinta, Nicholas Saputra, yang piawai berbicara di depan mikrofon seolah sedang ngobrol dengan seseorang sembari mengoperasikan mixer untuk mengatur  suara. Sejak itu saya bertekad, mau jadi penyiar radio!

Demi memuluskan jalan untuk mewujudkannya, saya belajar tentang penyiaran radio di sebuah lembaga yang secara khusus memberikan ilmu tentang itu. Bukan hanya teknik siaran tapi juga diajarkan jurnalistik radio secara singkat. Semangat pun kian membuncah. Sayangnya, jalan tidak selalu mulus seperti yang dibayangkan. Usai menyelesaikan kursus singkat itu, saya tidak serta merta mudah mendapatkan pekerjaan sebagai penyiar radio. Selain pengalaman, pendidikan minimalnya Sarjana. Sedangkan saya hanya seorang diploma. Tanpa pengalaman pula! Lengkap sudah.

Sambil menunggu kesempatan, saya menambah lagi ilmu Jurnalistik agar bisa mendapat gelar Sarjana. Rupanya, ketika sudah memegang gelar Sarjana pun kesempatan yang ditunggu belum juga mendekat. Puluhan surat lamaran sudah dikirim ke berbagai media massa. Baik skala nasional maupun lokal. Lagi-lagi, pengalaman yang belum dimiliki menjadi salah satu hambatan. Saya hampir putus asa. Hingga pada satu ketika saya memperoleh kesempatan itu di sebuah Majalah Berita Mingguan. Memang bukan jadi penyiar radio seperti yang saya inginkan melainkan bertugas sebagai reporter. Bayangkan, saya bisa bertemu dengan siapa pun termasuk para pejabat negara yang harus melalui birokrasi berbelit kalau bukan dengan alasan wawancara. Juga berdiskusi dengan para pesohor lainnya. Pokoknya, saat itu saya senang bukan buatan, bisa jadi jurnalis. Bangganya bukan main!

Namun, menjadi jurnalis tak semudah yang dipikirkan. Diperlukan keterampilan dalam menembus dan mewawancarai narasumber serta menulis laporan. Satu per satu aral mulai melintang di hadapan saya. Beberapa kali laporan saya ditolak redaktur karena kurang lengkap dalam mendeskripsikan hasil observasi dan wawancara. Pernah saya ingin menangis karena sulit menembus narasumber, sementara deadline tinggal dua jam lagi. Belum lagi menulis laporannya yang juga membutuhkan waktu. Reputasi pun dipertaruhkan.

Tapi saya tidak patah arang. Pantang buat saya menyerah atas sesuatu yang sudah dipilih setelah memutuskan untuk memilih. Justru kesulitan yang datang ini memecut diri untuk tampil lebih baik, bisa memberikan hasil yang maksimal. Maka saya tingkatkan kemampuan dengan banyak berlatih menulis laporan yang baik sesuai standar yang diinginkan. Pun saya banyak berdiskusi dengan rekan-rekan jurnalis senior yang sudah piawai menghadapi narasumber. Hasilnya tidak sia-sia. Keterampilan saya dalam mewawancarai narasumber dan menulis laporan meningkat, kemampuan pun akhirnya diakui. Satu mimpi  terwujud!

Saya yakin setiap hambatan yang dihadapi datang bersama solusinya. Hanya saja, terkadang kita terlalu risau dan fokus pada kesulitan itu sendiri sehingga tak mampu berpikir jernih dan bijak untuk menyelesaikannya. Saya juga senang belajar dari pengalaman-pengalaman hidup orang lain tanpa memandang dari mana mereka berasal, tidak lantas berbangga diri atas segala sesuatu yang sudah dicapai. Karena dengan begitu bisa memperkaya diri agar lebih bijaksana dalam setiap tindakan.

Terwujudnya mimpi menjadi jurnalis kian menyulut semangat saya untuk bisa merengkuh impian lain, berhasil sampai di Puncak Mahameru! Persis satu tahun saya menyimpan mimpi ini di dalam benak dan pikiran. Kini, langkah sudah dekat untuk meraihnya. Saya awam soal mendaki gunung, tapi itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Banyak cara untuk mewujudkannya, asal mau usaha. Bukan untuk menguji nyali, apalagi berniat menaklukkan Puncak Mahameru. Tidak.

Sejak lama saya mencintai alam dengan segala keindahannya. Alam selalu menjadi tujuan kala diri perlu rehat sejenak dari rutinitas hidup, sekedar menghirup udara sejuk dan menyegarkan mata dengan panorama yang, terkadang, sulit diungkap lewat kata. Berada di alam semesta sama halnya bersyukur pada Sang Pencipta yang dengan murah hati sudah memberi saya kesempatan untuk menikmatinya. Pun saya berharap pada Yang Maha Kuasa agar punya kesempatan untuk kembali menikmati alam ciptaan-Nya, Puncak Mahameru. Tepat pada pergantian tahun nanti.

Jadi jangan takut punya mimpi, tentukan saja impian kita, lukis dalam pikiran persis seperti yang diinginkan. Lalu coba rasakan, kalau mimpi kita nyata. Karena bermimpi itu halal, seperti yang dituliskan Karni Ilyas dalam bukunya, asal mau memenuhi syaratnya: kerja keras, kerja keras, kerja keras!   Saya sudah membuktikannya. Salam.


No comments:

Post a Comment