"Upload fotonya, update statusnya nanti ya ade-ade. Kita mau ngomong, tolong dengar dulu.”
Seorang pesohor, penyanyi
kenamaan di Indonesia yang siang itu tengah menjadi salah satu juri pada
perlombaan paduan suara, protes kepada para audien yang kebanyakan siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalimat itu dilontarkan saat dia dan dua orang
temannya berdiri di panggung ketika mau menyampaikan prosedur penilaian lomba.
Kondisi ini saya dapati beberapa waktu lalu ketika mengantar adik yang bersama
teman-teman paduan suara mengikuti acara itu di bilangan Jakarta Selatan.
Memang, saat itu suasana riuh. Ramai. Peserta lomba, yang berasal dari beberapa
sekolah di Jakarta, sibuk dengan Blackberry
dan obrolan masing-masing. Duduk berkerumun dengan kelompoknya. Sempat saya
mendengar mereka rumpi-rumpi soal
penampilan lawan dari sekolah lain. Komentar ini dan itu. Kebetulan posisi
duduk saya dekat dengan mereka. Jadi saya bukan curi dengar.
Situasi
ini bukan kali pertama yang saya temui. Jadi, bukan sesuatu yang asing. Kerap
kali saya mendapati beberapa mahasiswa ngobrol ketika saya sedang menjelaskan
materi perkuliahan di kelas. Tapi justru bungkam, meski tidak semua, saat saya
melontarkan pertanyaan. Diam. Menunduk, serius membaca catatan. Ada juga yang
pasang muka seolah sedang berpikir, merangkai jawab tapi tak kunjung
diungkapkan. Hanya beberapa gelintir mahasiswa yang berinisiatif menjawab
pertanyaan saya. Pun ini terjadi saat rekan sesama dosen tengah mengajar. Setidaknya
itu yang saya amati. Rupanya ini terjadi di beberapa universitas tempat saya
mengajar. Selalu ada mahasiswa yang sibuk dengan obrolannya sendiri ketika saya
tengah menyampaikan materi di kelas.
Saya tidak hendak menyalahkan
sikap mereka. Bisa jadi metode mengajar yang belum sepenuhnya bisa diterima oleh
beberapa mahasiswa yang ikut di kelas saya. Mungkin juga beberapa gelintir
mahasiswa itu punya gaya belajar sendiri tanpa perlu menyimak penjelasan dosen
di kelas. Demikian saya berasumsi.
Saat mengajar, saya tidak
berharap hormat yang berlebihan dari para mahasiswa. Bukan, bukan itu. Melainkan
respek dan respon yang sesuai porsinya tentu juga relevan dengan topik yang
dibahas. Begini maksud saya, dengarlah saat materi tengah disampaikan dan
tanyalah jika ada yang belum paham. Semudah itu. Alasan saya sederhana, hanya
ingin mereka memanfaatkan waktu yang singkat, dua setengah jam untuk tiga sks,
untuk benar-benar memahami materi. Bukan hadir di kelas cuma sekedar memenuhi
persentase kehadiran sebagai salah satu syarat lulus mata kuliah tersebut.
Buat apa meluangkan waktu dua
setengah jam sebanyak empat belas pertemuan (satu semester) kalau tidak
mendapat tambahan ilmu? Waktu dan biaya terbuang percuma. Adakah mereka
berpikir seperti ini?
Mungkinkah perlu ada kelas
khusus etiket komunikasi di setiap institusi pendidikan? Entahlah. Satu hal
pasti, perlu sikap menghargai ketika orang lain tengah berbicara. Minimal mendengar,
kalau merasa belum mumpuni untuk merespon. Dan sangat disarankan bertanya jika
tidak mengerti agar tidak salah paham. Sehingga komunikasi jadi lancar, dua
arah. Tidak timpang. Tak susah untuk bertanya, hanya perlu merangkai kata
sederhana untuk menyampaikan pertanyaan. Pun tak sulit untuk bisa menghargai
orang yang sedang berbicara. Cukup sediakan telinga untuk mendengar dan pikiran
untuk mencerna.
Aaah, ini bukan untuk
menggurui. Tidak. Tapi kalau boleh saya memberi saran. Sebab, tak rugi jika
kita mau menaruh respek pada orang lain yang sedang berbicara. Tanpa memandang “siapa”
tapi “apa” yang disampaikan. Terkadang justru informasi yang bermanfaat datang
dari sumber yang bukan “siapa-siapa”. Saya sudah mengalaminya. Salam.
*Diadaptasi dari bahasa Perancis yang bermakna “dengarkan
saya”.
No comments:
Post a Comment